loading...
Loading...
PAGI itu ia menyusuri padatnya lalulintas jalan Ibu Kota Jakarta. Satu persatu kantor ia jajaki, namun tak jua ia dapat pekerjaan. Sebelum berangkat melamar kerja ada seorang kerabat datang dari kampung halaman yang baru saja tiba.
Kerabat ini menyampaikan amanat pesan, bahwa ayahnya menitip pesan supaya ia segera menikah. Sebagai seorang anak, ia tau bahwa apa yang disampaikan ayahnya lewat saudaranya adalah sinyal ia harus segera hidup mandiri, tanpa harus bergantung kepada orang tua lagi.
Hari demi hari ia lalui dalam masa kuliah di sebuah kampus Islam di Jakarta. Sambil menyelesaikan kuliah, dia masih terus menapaki lorong lorong ibu kota agar mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi tak kunjung juga menyapa .
Tibalah ia menemukan seorang saudagar kaya pemilik sebuah hotel di Jakarta. Hotel dengan 17 lantai ini adalah pemiliknya orang asli Padang. Ia sempat diwawancarai oleh pemilik hotel.
“Sebenarnya kamu asal dari mana?” tanya pemilik hotel. “Ohya, saya dari Flores Timur, NTT,” demikian jawabnya.
“Yang saya tahu di Flores mayoritas Nasrani, tetapi Anda tak menampakkan seorang Nasrani?”
” Ia pak, di kampung kami ada keluarga kami yang Nasrani tapi dari garis keturunan kakek-nenek kami tak ada satupun yang Nasrani, “ demikian jelasnya.
Alhamdulillah, akhirnya ia diterima pihak hotel dan bekerja sebagai tim supervisi keuangan. Setelah bekerja dia memutuskan menikah dengan gadis Padang.
Maklum, ia tahu betul, di tempatnya bekerja, siapa saja bisa menginap. Kamar bisa disewa siapa saja, kapan saja selalu silih berganti orang dengan tipe dan model yang berbeda-beda. Ia harus hidup mandiri dan lagi pula takut dirinya terjerat maksiat bekerja di hotel sehingga jalan satu satunya yaitu menikah di usia muda. Waktu itu ia baru berumur 20 tahun, kenangnya. Demikian kisah Iqro’ Hidayah.
Uang setan dimakan jin…
Namun bekerja di hotel membuatnya tak nyaman. Meski bonus dan tips boleh dibilang melimpahia mangaku, tak menemukan kebahagiaan. Keresahan terus bertambah saat ia menemukan banyak yang tak sesuai dengan hati dan pikirannya.
Dikala pesanan kamar hotel dan bonus dari pemesan selalu ia terima tanpa sepengetahuan dari atasan. Itu berjalan hingga beberapa tahun. Ibarat mengumpulkan banyak uang tetapi hasilnya tak begitu berkah.
Uang dan harta yang selama itu dikumpulkan habis begitu saja. Seolah tak ada keberkahan yang ia peroleh dari hasil jerih payah selama bekerja selama ini. Seolah ‘uang setan dimakan jin’, begitulah pria kelahiran 1969 ini mengistilahkan.
Mendapat cobaan…
Hampir sepuluh tahun ia berada di Jakarta. Niat ingin memboyong anak dan istri pulang ke kampung halaman silaturahmi bersama orang tuanya, akhirnya kesampaian. Saat waktu itu anaknya baru dua. Setibanya di Adonara, Kabupaten Flores Timur, keluarga sangat senang melihat kedatangan mereka dari tanah perantauan. Apalagi membawa istri dan anak.
Selama sebulan di kampung, anak pertamanya mengalami sakit dan tak bisa tertolong dengan bantuan medis ala kadarnya, maklum kehidupan di kampung. Akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala mengambil titipanNya.
Tak kuasa air mata pun terus berlinang dari mata Iqro Hidayah beserta keluarga saat menerima cobaan. Selang beberapa pekan berada di kampung setelah anaknya meninggal, Iqro berharap bisa kembali ke Jakarta melanjutkan pekerjaannya. Namun istrinya menolak untuk kembali ke Jakarta karena ia masih keberatan meninggalkan kampung dari suaminya itu, karena baru sepekan mendiang anaknya pergi menghadap ilahi.
Iqro pun memberikan pengertian. “Kalau saya tak bisa kerja, bagaimana nanti kita bisa makan? Ijin dari tempat saya bekerja hanya dua bulan, sedangkan masa ijin pun akan berakhir, “jelas Iqro kepada istrinya.
Musibah datang tatkala ia tak memeuni hanji majikannya mengakhiri masa cuti. Pihak hotel memutuskan ia dikeluarkan.
Selama di kampung, bekal yang di bawa dari Jakarta pun kian menipis. Hidupnya kini berubah dari yang dulu. Yang dulu hidup serba ada, sekarang hidup serba tak ada dan tak menentu. Tak memiliki pekerjaan, dan sempat menganggur bertahun-tahun lamanya.
Ia hanya keluar rumah mencari perkumpulan pemain kartu, berjudi dengan modal yang sisa sedikit. Ia berharap ada tambahan saat bermain judi tapi sebaliknya, uang selalu habis ludes dibuat bermain judi di kampung.
Setiap hari keresahan terus bertambah. Hidupnya terasa hambar dan tak menentu. Istrinya pun terus berkeluh kesah di hadapan sang Maha Pemberi Harapan, Allah Subhanahu Wata’ala agar ia segera dikembalikan seperti dulu.
Hidayah menyapa…
Suatu saat, ada segerombolan anak muda datang ke rumahnya untuk mengajaknya shalat di masjid. Pertama kali ia menolak diajak. Karena selama ini, dirinya tak pernah melaksanakan shalat. Ia hanya shalat senaknya.
Lewat beberapa hari, gerombolan anak muda itu kembali menyapa. Mereka menyampaikan nasihat tentang iman dan amal yang akan kita bawa nanti. Sempat ia menolak. “Kalian jangan ajarin saya yaa..,” ujar Iqro yang pernah mengenyam pendidikan jurusan kimia ini tak habis akal.
Tak berapa lama selepas Ashar, gerombolan anak muda itu datang kembali ke rumah Iqro Hidayah dan mengajaknya untuk shalat di masjid agar meramaikan suasana masjid kampungnya.
Akhirnya iapun menyerah dan menyampaikan bahwa besok Subuh saja ia janji ke masjid. Maklum, saat Subuh tak ada orang-orang yang tau dan melihat dirinya.
Namun salah seorang anak muda dari mereka menyampaikan. “Siapa yang bisa menjamin bapak bisa hidup hingga Subuh nanti?” Ia pun terpaksa ke masjid dengan pakaian kaos.
Sesampai di masjid adzan Magrib berkumandang. Iqro menunaikan shalat. Saat sholat Isya’ ia tak ke masjid. Ketika adzan Subuh berkumandang ia segera mengambil sarung dan pakaian seadanya untuk berangkat menunaikan sholat di masjid tanpa sepengetahuan istrinya.
Usai sholat Subuh kegiatan di masjid yang diisi oleh anak muda itu adalah ta’lim, cermah singkat. Ia ikuti dari untaian mutiara Subuh kali ini. Entah, isi taklim kali ini membuatnya menyadari dosa dan kesalahannya selama ini ketika meninggalkan sholat.
Matahari di ufuk timur mulai muncul pertanda kajian Subuh telah usai, ia pun kembali ke rumah. Tetangga di sekitar rumah dan istrinya pun mulai heran dengan kelakuan suaminya hari itu.
Perlahan tapi pasti, hidayah itu terus mengalir dalam hidupnya. Memang terasa berat tantangan awal ketika behadapan dengan teman, keluarga dan tetangganya saat dirinya sudah mulai sedikit berubah. Bahkan ada teman dan keluarganya yang mencemoohnya.
“Masa si Iqro sudah sadar?”
“Perasaan baru kemaren kita bermain judi bersamanya,” ujar yang lain.
“Jangan-jangan hanya karena kalah judi ia sadar,” tukas teman akrabnya.
Iqro Hidayahpun sabar mendengar cibiran dan ocehan dari temannya.
Ia terus mempertahankan apa yang menjadi harapannya selama ini, yaitu senanti berada dalam hidayah_Nya.
Kepada Iqro mengaku akan terus berjuang menyadarkan orang-orang yang ada di kampungnya, sebagaimana ia dulu tersesat dari cahaya kebenaran. Iqro kini memutuskan menjadi juru dakwah, dan aktif di Jamaah Tabligh.
Baca Juga
loading...
0 Response to "“Cahaya” Menyapa Hidayah di Kala Subuh"
Posting Komentar