About

TOLONG !!! JANGAN AMBIL ANAKKU

loading...
Loading...



Aku menikah tiga belas tahun lalu. Dua tahun berikutnya, aku baru punya momongan. Maklumlah aku dan suami sama-sama sibuk, terlebih-lebih aku. Aku tak pernah bisa diam. Ada saja kegiatanku. Dari berdagang makanan di rumah hingga catering. Alhamdulillah, tak pernah sepi pesanan. Minimal, dua kali sebulan. Tak cuma itu, aku juga berdagang baju-baju dari rumah ke rumah di sela kesibukan warungku. Sementara suami sibuk dinas.

Selama hamil muda, alhamdulillah, aku tak mengalami kendala berarti. Aku tetap sibuk beraktifitas. Berat badanku naik drastis. Hanya saja tensiku tinggi. Alhamdulillah, saat melahirkan semua berjalan lancar. Bayiku sehat dengan berat 3,7 kg. Saat ini, ia sudah duduk di kelas IV SD.
Hanya saja, sebelum melahirkan ada beberapa kisah lucu. Waktu itu, saat hendak ke bidan aku naik becak. Perutku sudah mulai terasa melilit sakit. Suami belum pulang dari kantor, tapi sudah kuberi tahu. Ia berjanji menyusul setelah izin atasan. Saat hendak naik becak itulah kejadian lucu terjadi. Abang becak yang kurus kecil, justru terangkat naik saat ia hendak mempersilakanku naik becak. Berat badanku membuat becak yang sedang dicondongkan ke depan nyungsep dan abang becak yang menahan kemudi belakang becak terangkat. Untung becak tak terguling dan aku baik-baik saja. Cuma, malunya itu…

Aku tahu, kesulitan baru akan menanti saat turun nanti. Aku khawatir kejadian saat berangkat terulang lagi. Jadi, tukang becak meminta tolong pada beberapa orang yang tengah mengantar di depan rumah bidan. Untunglah, belum sempat turun, suami sudah datang. Dibantu beberapa orang, sebagian menahan becak sementara suami menolongku turun. Lega rasanya begitu turun dan becak. Namun, belum hilang rasa legaku, kakiku terasa sangat sakit dan sulit untuk melangkah. Aku sampai terbungkuk-bungkuk menahan sakitnya. Kucoba lagi melangkah, hasinya sama saja. Tak bisa bergerak. Aku panik, begitupun suamiku. Kupikir aku lumpuh. Aku jadi menangis ketakutan. Untunglah bidan datang menenangkan. Setelah kujelaskan bidan tersenyum. Bu bidan bilang, bayiku sudah siap “di jalannya”, itu yang membuat kaki terganjal dan sulit digerakkan serta terasa sakit.

Akhirnya aku digotong oleh tujuh orang! Lagi-lagi kejadian lucu terulang. Karena tubuhku “lebar”, saat melwati pintu, orang-orang yang mengangkatku sulit masuk bersamaan. Untuk menurunkanku, jelas tak mungkin, karena kala itu aku mengerang-ngerang kesakitan. Masya Allah, ada-ada saja. Akhirnya, tambahan bantuan dikerahkan. Sebagian orang menanti di pintu dalam aku digeser pindah dari tangan ke tangan. Begitu lewat pintu, spontan tanpa dikomando, ruang tunggu dipenuhi ucapan hamdalah. Aku dipindah dengan meja dorong ke VK. Gelak tawa lucu, juga kebahagiaan dan lega mewarnai ruang tunggu setelah sempat tegang dan panik. Ini gara-gara tubuhku yang melar dan melebar.

Anak keduaku lahir dua tahun kemudian. Laki laki dengan berat 3,2 kg. Kali ni berat badanku naik tapi tak sebesar yang pertama. Suami sering meledek dan memanggilku “balon”((Meski sekadar bercanda, dalam Islam tidak diperkenankan memberi julukan-julukan semacam itu-red)).Alhamdulillah, semua lancar dan tak seheboh yang pertama. Bayiku lahir malam hari, normal meski sungsang. Aku pulang dengan tiga belas jahitan. Subhanallah, Masya Allah luas biasa rasanya.

Tahun 2008, putri ketigaku lahir. Awalnya orang tua sempat kesal saat tahu aku hamil. Karena pengaruh orang tua sempat aku hendak menggugurkannya. Astaghfirullah. Saat hal itu kusampaikan pada suami, ia marah-marah. Anak itu amanah. Tidak semua orang diberi oleh Allah. Lagian sudah banyak dosa, mau nambah dosa?! Istighfar Bu, nggak pantas kamu punya niat begitu.”

Saat mengandung anak ketiga, aku berulang kali jatuh sakit bahkan sempat dua kali jatuh dari motor. Selama hamil itupun aku empat kali opname. Aku harus bolak-balik menangis karena takut kehilangan bayiku. Semakin besar perutku, rasa takut kehilangan itu kian besar. Aku selalu khawatir terjadi apa-apa padanya.

Hari yang kunanti tiba. Perutku sakit tapi tak ada tanda-tanda lahir. Aku membawanya ke dokter langganan, sebab beberapa hari sebelumnya tekanan darahku tinggi. Alhamdulillah, tensiku normal. Bukaan sudah tiga. Karena kondisi bagus, aku meminta izin dokter untuk lahiran di tempat bidan. Dokter mengizinkan.

Sampai Subuh, meski perut terus melilit bukaan tak bertambah. Tenagaku sampai habis. Tak tahan aku minta dirujuk ke rumah sakit swasta. Hingga pukul sembilan pagi bukaan, tak bertambah padahal aku sudah disuntik pacu. Ketika Zhuhur bukaan mencapai delapan, tapi bayi tak juga keluar. Rupanya plasenta menutupi jalan bayi. Dokter berinisiatif memecah plasenta, tapi dua kali mencoba, plasenta tak pecah. Yang ada justru jalan lahir menutupi lagi dan kontraksi berhenti. Dokter sampal geleng kepala. Dokter memutuskan operasi.

Alhamdu/i//ah, bayi perempuanku lahir selamat dengan berat 3,3 kg. Dan begitu bayi diangkat, ia menangis keras. Dokter kemudian mengangkat ari-ari.
“Wah, berat banget Bu ari-arinya.” Karena penasaran, dokter iseng menimbang ari-ari itu. Beratnya 12 kg! Dokter sampai terkagum-kagum.
“Subhanallah, Bu. Bertahun-tahun saya jadi dokter kandungan baru kali ini tahu ari-ari sebesar ini dan sulit dipecah.” ini kehamilan terakhirku, rahimku robek dan ari-ari ternyata lengket. Aku disteril. Semalaman aku menangis sedih. Mungkin Allah menegurku karena saat awal hamil anak ketiga aku punya niat buruk menggugurkan. Dan kini, Allah mengujiku dengan hal ini. Tak cuma itu, saat usia si bungsu dua bulan, ia terkena demam berdarah (DB)! Awalnya si bungsu masuk RS. Selang sehari, dua kakaknya menyusul kritis. Tak tanggung-tanggung malam harinya aku menyusul opname. DB juga.

Alhamdulillah aku bertahan, tapi tiga buah hatiku kritis! Aku menangis, meski kondisiku sendiri payah, aku nekat menjaga mereka. Aku merintih, memohon ampun pada Allah. Mengemis dan menghiba pada Allah untuk menyelamatkan ketiga anakku. Suamiku tak kalah shock. Dalam sekejap, batas hidup dan mati yang begitu tipis terjadi di depan mata. Dan ketiganya adalah anakku. Mataku tak henti menatap bergantian 3 layar monitor detak jantung. Sebentar melemah, tak stabil, menguat melemah lagi… jantungku seolah dipacu ribuan kali lebih cepat.
Bibirku tak lepas dan doa dan istighfar. Sepekan kemudian, alhamdulillah, mereka terjaga satu persatu. Ruang ICU, penuh dengan luapan emosi bahagia. Puji syukur pada Allah yang tak terperi. Hikmah dari semua itu, kami lebih menyayangi anak-anak, dan lebih menghargai hidup serta setiap anugerah suka atau duka yang diberikan Allah serta menjadi lebih dekat pada-Nya. Juga, atas “kesempatan kedua” kami untuk momong mereka
loading...

0 Response to "TOLONG !!! JANGAN AMBIL ANAKKU"

Posting Komentar