loading...
Loading...
Pekerja rumah tangga, yang oleh sebagian masyarakat disebut ‘pembantu’, memang belum memiliki nasib yang baik. Mereka masih rentan dalam hal yang menyangkut hak, perlindungan, serta pengakuan sebagai pekerja.
Tak heran jika tiadanya peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah hak, kewajiban antara mereka dengan pemberi kerja (majikan), membuat mereka mengalami berbagai masalah seperti kekerasan fisik, hinaan, hingga pelecehan s^k5u4l.
“Kami sudah bersama-sama berjuang sejak tahun 2004 agar pemerintah dan DPR membuat undang-undang tentang PRT. Namun nyatanya hingga hari ini belum ada hasilnya,” ujar koordinator Jala PRT Lita Anggraeni saat mendampingi 30-an PRT beraudiensi dengan anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS di Senayan, Selasa (6/12/2016).
Lita memaparkan bagaimana perjuangan para aktivis pembela hak PRT untuk mengegolkan RUU tentang PRT namun belum mendapatkan hasilnya. Meski, katanya, berbagai cara telah ditempuhnya, dari melakukan aksi demo di depan Istana Merdeka, mendatangi Kementerian Tenaga Kerja, hingga aksi mogok makan.
Oleh karena itu, para aktivis dan pendamping PRT tersebut menaruh harapan pada Fraksi PKS untuk mengajukan kembali RUU PRT agar masuk ke dalam program prioritas legislasi nasional 2017.
Jannah, seorang pendamping PRT di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan, menceritakan jika di wilayah ini tak sedikit komunitas PRT yang tak terputus dari ibu hingga menurun ke anaknya. “Awalnya jika ibunya tak masuk karena sedang sakit, maka anaknya diharuskan menggantikannya. Maka anaknya pun terpaksa menggantikan ibunya hingga karena tak punya biaya mereka juga tak bersekolah,” ujarnya.
Menurut Jannah, bagaimana anaknya yang menggantikan pekerjaan ibunya sebagai PRT tak bisa ditolak karena tak ada kontrak kerja. Tiadanya kontrak kerja ini, lanjutnya, membuat majikan menjadi sewenang-wenang. “Ada PRT perempuan yang selain mengerjakan tugasnya sebagai PRT tapi juga harus mencuci 3 mobil majikannya setiap hari. Padahal sudah bekerja selama 16 tahun bayarannya Rp 600 ribu sebulan. Loyalitas PRT tak sebanding dengan kesejahteraannya,” ucapnya.
Lina, seorang PRT yang bekerja pada salah majikan berkebangsaan asing pun mengaku tak mendapat kepastian perlindungan dan kesejahteraan karena tiadanya kontrak kerja. Majikan asing, katanya, tak ingin PRT ikut komunitas, apalagi berorganisasi. “Mereka paling khawatir kita ini berorganisasi. Lah, bagaimana kita bisa mendapat pengakuan dan perlindungan kalau tak boleh ikut perkumpulan?” ujar perempuan asal Tegal, Jawa Tengah ini.
Ana, pendamping PRT pun ikut prihatin dengan nasib PRT. Sebab, katanya, selain rentan menghadapi kekerasan fisik, mereka juga rentan pada pelecehan s3k5^4l. “Tak sedikit kasus yang kami terima. PRT ditawari uang untuk mau melayani majikan laki-laki,” katanya. Karena itu dia berharap anggota DPR peduli pada nasib PRT dengan segera membahas dan mengesahkan UU mengenai PRT.
Anggota Banleg DPR Junaidi Auly yang menerima aduan aspirasi PRT tersebut berjanji akan mendorong RUU tentang PRT dimasukkan kembali dalam Prolegda. “Meski sekarang ini waktunya sudah last minute, saya akan coba usulkan dalam rapat pleno nanti,” ucapnya.
Dia berharap perjuangan para aktivis dan PRT dalam menggapai keadilan itu dibarengi dengan memperbanyak dzikir doa. “Karena bagaimanapun ibu-ibu sudah berusaha ke sana kemari dengan perjuangan yang maksimal tapi masih mentok, maka siapa lagi yang dapat diharapkan kecuali yang Maha Kuasa agar membukakan pintu langit dan meminta dibukakan pintu hati pemerintah maupun anggota DPR,” ujarnya. (mr)
loading...
0 Response to "RUU tentang PRT Berkepanjangan, Mengetuk Pintu Langit Jadi Ikhtiar"
Posting Komentar